Rabu, 21 April 2010

Insight on Quantitative Marketing Research Series

It Can Work Together : A Case Study of Applying HCA and KMCA Simultaneously

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sedikit me-review aplikasi dan prosedur teknis dalam mengeksekusi pendekatan Hierarchical Cluster Analysis (HCA) dan K Means Cluster Analysis (KMCA) dalam riset segmentasi. Dalam tulisan ini, saya ingin mengkaji lebih mendalam dari sisi praktis bagaimana mengimplementasikan kedua pendekatan tersebut. Dalam tulisan saya terdahulu, telah dijelaskan bahwa minimum requirement sampel untuk HCA dan KMCA adalah 200 unit dan lebih dari 200 unit. Namun, "kabar baiknya" kedua pendekatan ini dapat digunakan secara bersamaan.

Hal ini bermanfaat untuk memperoleh kombinasi terbaik atas jumlah segmen ideal. Contohnya adalah riset yang dilakukan Fathi (2008) yang berjudul "Segmentation of Shoppers Mall in Bandung Based On Mall Attractiveness Approach". Riset ini dilakukan terhadap 247 responden di Bandung. Adapun model yang digunakan adalah dengan mengadopsi konstruk Mall Attractiveness Approach. Riset ini menggunakan pendekatan Cluster Analysis (CA). Selanjutnya digunakan KMCA yang didahului oleh aplikasi HCA.

Pertama dilakukan HCA, dengan menggunakan analisis koefisien aglomerasi (agglomeration coefficients). Analisis ini digunakan untuk memberikan panduan dalam menentukan jumlah klaster yang tepat untuk dilakukan analisis selanjutnya. Norusis dalam El-Adly (2007) menyarankan untuk melakukan penghentian proses aglomerasi (agglomeration process) ketika terjadi kenaikan angka dalam jumlah besar (large increase) pada dua tahap terdekat (two close steps).

Ketika terjadi kenaikan signifikan angka pada proses aglomerasi, maka akan teridentifikasi jumlah klaster yang dibutuhkan dalam melakukan analisis klaster. Tahap berikutnya adalah melakukan analisis dengan KMCA. Dengan metode ini akan diperoleh informasi yang sangat krusial, yaitu final cluster centers. Informasi ini berisi interaksi antara klaster dengan variabel penelitian.

Dalam penelitian ini, variabel penelitian ini diperoleh dari hasil operasionalisasi variabel dan menilai setiap dimensi dalam konstruk mall attractiveness. Dimensi dari setiap konstruk ini meliputi comfort, entertainment, diversity, mall essence, convenience dan luxury. Dengan demikian akan diperoleh bagaimana penilaian tingkat kepentingan pembelanja atas keenam dimensi tersebut.

Tahap terakhir adalah pemberian label (labelling) terhadap setiap klaster. Prosedur pemberian label ini adalah dengan melakukan penghitungan rata-rata (mean analysis) pada setiap dimensi. Dengan demikian akan terlihat setiap dimensi yang memiliki nilai rata-rata terbesar dan terkecil. Pemberian label juga mengkombinasikan antara data pengukuran (diperoleh dari konstruk mall attractiveness) dan data demografi responden seperti usia, profesi, dan juga frekuensi kunjungan mereka di mal.

Riset ini menggunakan kombinasi HCA dan KMCA. Metode yang pertama akan digunakan pada awal analisis untuk mengidentifikasi jumlah segmen pembelanja yang terbentuk. Sedangkan metode yang kedua digunakan untuk menganalisis 247 responden yang terlibat dalam penelitian ini dan membentuknya ke dalam segmen dalam jumlah tertentu yang sesuai dengan jumlah segmen yang teridentifikasi pada HCA.

Dalam metode HCA, identifikasi jumlah segmen yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan metode Two Close Steps. Metode ini dilakukan dengan mengamati kenaikan nilai koefisien pada tabel Agglomeration Schedule. Tahap pertama dalam metode ini adalah dengan melibatkan 247 responden dan 22 atribut yang telah memenuhi kriteria pada tahap uji validitas.

Sesuai dengan argumen Norusis bahwa dalam menggunakan metode ini, peneliti disarankan untuk melakukan penghentian dalam mengamati kenaikan pada tabel jika terjadi kenaikan dalam jumlah signifikan antara dua stage terdekat dengan nilai coefficient yang besar (El-Adly, 2007). Hal ini juga dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini.

Cluster Combined Stage Cluster Appears

Stage Cluster 1 Cluster 2 Coefficients Cluster 1 Cluster 2 Next Stage

1 135 138 .000 0 0 5

2 136 137 .000 0 0 12

. . . . . . .

. . . . . . .

244 1 5 4549.843 239 243 245

245 1 14 4801.987 244 240 246

246 1 3 5412.000 245 242 0

Tabel Agglomeration Schedule

Pada tabel diatas, kita dapat mengidentifikasi jumlah segmen yang terbentuk. Cara kerja metode two close steps adalah dengan menghitung kenaikan koefisien pada tabel dari stage terbawah. Semakin jauh posisi stage dari posisi terbawah dan memiliki kenaikan koefisien terbesar, semakin banyak segmen yang akan terbentuk.

Pada tabel diatas, kita mengamati dari stage 246 yang merupakan stage terendah. Dengan mengamati kenaikan koefisien sebesar 610.013 (5412.000 –4801.987) maka peneliti menghentikan analisis karena angka kenaikan ini lebih besar dari kenaikan stage lainnya, yaitu stage 244 dan 245. Kenaikan dua stage tersebut jauh lebih kecil yaitu hanya 252.144 (4801.987 – 4549.843). Dengan demikian diketahui bahwa segmen yang terbentuk berjumlah dua segmen.

Selasa, 20 April 2010

Insight on Quantitative Marketing Research Series

Hierarchical Cluster or K Means Cluster .... It Totally Depends On You

Segmentasi pasar merupakan basis strategi yang vital bagi seorang pemasar. Dengan segmentasi, pemasar dapat memperoleh informasi yang presisi tentang jumlah segmen pasar yang ada beserta karakteristiknya. Namun pada kenyataannya, memetakan segmen pasar adalah hal yang tidak mudah. Meskipun seorang pemasar memiliki kemampuan kreatif yang tinggi, hal tersebut perlu diperkokoh dengan keterampilan melakukan riset pasar.

Dalam riset pasar, segmentasi sendiri memperoleh perhatian khusus khususnya dalam penentuan metodologi spesifik untuk mempermudah melakukan pemetaan segmen. Dalam konsep riset pasar, melakukan segmentasi pasar dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan statistik, yakni Cluster Analysis (CA). Secara metodologis, CA ini merupakan pendekatan statistik yang bersifat Interdependence Technique (ID).

ID merupakan kategori analisis yang dikonstruksi dari pengkondisian posisi penyetaraan variabel analisis. Artinya, kedudukan setiap variabel sama : tidak ada variabel bebas dan tidak ada variabel terikat. Secara sekilas, CA memiliki kemiripan dengan pendekatan Factor Analysis (FA) mengingat kedua pendekatan ini merupakan kategori ID. Namun, secara fungsional jelas berbeda. Jika FA hanya meringkas (mereduksi) berbagai atribut, sedangkan CA justru mengelompokkan berbagai atribut tersebut.

Kembali ke pendekatan CA. Pendekatan CA sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu Hierarchical Cluster Analysis (HCA) dan Non Hierarchical Cluster Analysis atau K Means Cluster Analysis (KMCA). Perbedaan antara HCA dan KMCA terletak pada jumlah sampel yang dilibatkan dalam riset. Dalam HCA, minimum requirement adalah 200 unit. Sedangkan dalam KMCA jumlah sampel harus melebihi 200 unit. Dari keterangan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa HCA lebih digunakan untuk riset Business to Business Marketing, sedangkan KMCA lebih ideal digunakan untuk kategori Consumer Marketing.

Untuk melakukan CA, hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah menentukan jumlah kluster yang diinginkan. Untuk HCA hal ini menjadi mudah, karena hal ini dapat teridentifikasi dari output Software Statistik yang kita gunakan (misalnya SPSS) karena proses clustering dilakukan secara otomatis. Hasil proses clustering ini dapat dilihat dari Dendogram yang menampilkan visualisasi clustering process.

Kondisi berbeda justru terjadi pada KMCA, dimana jumlah klaster tidak diperoleh dari output Software Statistik. Sehingga membutuhkan judgement dari pemasar (khusunya peneliti) untuk menentukan jumlah sampel yang dinilai ideal. Artinya, peneliti perlu melakukan komparasi untuk setiap pasang klaster yang terbentuk. Sayangnya, tidak setiap judgement dari pemasar (peneliti) mampu menghasilkan data klaster yang akurat.

Dibutuhkan kombinasi art dan science untuk memperoleh judgment yang akurat. Meskipun demikian, Simamora (2005) memberikan solusi untuk mereduksi potensi ketidakuratan judgement. Pertama, jumlah klaster dapat diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan teori, konsep, model atau pertimbangan praktis. Kita dapat melihat hasil publikasi riset yang dinilai relevan dengan kajian riset yang sedang kita lakukan. Atau, dengan mempertimbangkan hasil preliminary research (qualitative study) yang memberikan gambaran umum tentang jumlah segmen yang terbentuk.

Kedua, dengan mengadopsi pendekatan jarak (distance analysis) sebagai kriteria. Namun, hal ini menjadi sulit karena ketentuan distance analysis hanya berlaku untuk pendekatan HCA bukan KMCA. Ketiga, dengan melihat dendogram yang mencerminkan pembentukan klaster. Informasi
yang dituju adalah rescaled distance cluster combine. Caranya dengan melakukan pengamatan pada dua clustering terakhir, sehingga dapat kita ketahui jumlah klaster yang terbentuk. Keempat, peneliti dapat melakukan analisis jumlah anggota klaster yang terdapat pada dendogram. Caranya adalah dengan melihat jumlah masing - masing anggota kelompok pada setiap klaster. Jika salah satu klaster memiliki jumlah anggota berjumlah lebih kecil (misalnya satu) akan menjadi ganjil. Maka, klaster tersebut sebaiknya dihapus.

Akhirnya, hal ini kembali kepada pilihan pemasar (peneliti) sendiri. Keempat solusi tersebut bersifat kondisional dan tidak dapat diperlakukan secara generalized. Misalnya, jika perusahaan telah melakukan preliminary research, maka opsi keempat tidak perlu dilakukan. Sebaliknya, jika kondisi sebenarnya adalah ill informed (tidak memiliki informasi yang mencukupi), maka opsi keempat adalah pilihan yang bijak.

Insight on Marketing Strategy Series

Qwerty Model : A New Story of Handset One Million Users

Siapa yang tidak mengenal Blackberry (BB)? Handset cerdas (smartphones) ini begitu kuat daya pikatnya bagi konsumen Indonesia saat ini. Betapa tidak, tahun 2008 dan 2009 menjadi momentum kebangkitan BB. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah pengguna BB. Bahkan 2008 dapat dikatakan sebagai honeymoon time karena pertumbuhan pengguna BB mencapai 2 digit.

Pertumbuhan pengguna BB ini tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Social Media, seperti blogging, social networking, mailing list, dan forum community. Sebenarnya BB masuk di Indonesia semenjak 2004. Namun, tidak terlalu booming karena pada awalnya BB ditujukan untuk segmen korporat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fitur BB yang merefleksikan kebutuhan segmen ini, seperti push email, internet connection dan berbagai aplikasi bisnis, sehingga memperkokoh identitas BB sebagai handset bisnis. Dampaknya bisa ditebak, pertumbuhan pengguna BB cukup datar jika tidak dapat dikatakan stagnan. Mulai 2006, BB mulai
bergeser menggarap segmen retail (konsumen individu) demi meningkatkan jumlah penggunanya.

Cukup jitu, karena mulai periode inilah mulai marak berbagai media social networking seperti Friendster. Namun, sejatinya BB mulai menemukan momentumnya pada 2008 karena di saat yang bersamaan gema Facebook (FB) mulai "menggelegar". Kehadiran BB sangat ditopang oleh banyaknya diskusi oleh pengguna FB yang membicarakan BB, mulai dari status penggunanya, memberikan komentar di status orang lain, hingga private chatting. Word of Mouth ini akhirnya meningkatkan curiosity konsumen Indonesia untuk mengenal BB lebih dekat.

Fenomena handset yang diproduksi oleh vendor Kanada, Research In Motion (RIM) memang menarik untuk dicermati. Dengan sistem open source dan licence, praktis operator telekomunikasi lokal "bertempur" dalam hal pelayanan konsumen. Pasalnya, dari sisi produk dan teknologi sepenuhnya dikemas oleh RIM. Demikian pula dengan device BB yang hanya dapat diperoleh melalui operator telekomunikasi yang menjadi rekanan bisnis RIM. Selain itu, BB juga ditujukan untuk segmen high-end yang memiliki daya beli yang tinggi.

Di sisi lain, BB memberikan windfall bagi vendor lokal untuk memasarkan merek-merek lokal seperti My-G, Vittel, atau IMO. Meskipun dari sisi produksi, proses pengerjaaan tidak dilakukan di Indonesia, tetap saja pasar menerima dengan antusias. Bagi konsumen yang tidak menjangkau harga BB, model handset Qwerty lokal merupakan solusinya. Sudah menjadi rahasia umum kalau karakteristik konsumen Indonesia kurang memahami teknologi pada handset. Dapat Anda perhatikan, berapa persen konsumen kita yang telah menggunakan semua fitur yang disediakan di handset mereka? Berapa persen pula responden yang membaca buku panduan (manual operation book) yang diberikan di kemasan handset yang dibelinya?

Sangat sedikit sekali jawabannya. Uniknya, konsumen kita lebih mementingkan gaya. Komponen non-fungsional ini menjadi determinan utama model-model handset Qwerty lokal. Dengan fasilitas aplikasi chatting (messenger), kamera, dan varian yang luas menjadi pilihan utama. Dan tentu saja, penekanan pada kemudahan aplikasi social networking seperti FB, Twitter, dan Friendster.

Menariknya, strategi ini mampu membuat pasar handset dalam negeri ber-euforia dan segera terjangkit "virus" Qwerty-Minded. Kondisi demikian membuat berbagai varian model handset lainnya seperti lesu. Lihatlah penjualan varian handset candybar, bar sliding, dan flip yang menukik cukup signifikan. Akhirnya, harga pada varian tersebut ikut menurun. Nasib lebih baik dialami oleh handset tipe touchscreen yang mampu mengimbangi kehadiran model Qwerty.

Menarik untuk dicermati bagaimana proliferasi varian Qwerty ini dalam dua tahun terakhir. Pergeseran selera konsumen membuat model lainnya nampak usang. Para vendor tentu saja berharap euforia Qwerty ini masih akan terus berlanjut demi mengeruk profit yang optimal. Jika kita berasumsi bahwa euforia ini masih akan berlanjut untuk waktu yang lebih lama, bisa dipastikan market acceptance lattitude atas model Qwerty ini akan semakin besar. Dan boleh jadi model ini akan menjadi "handset sejuta umat".

Insight On Retail Management Series

Retail Is Location, Location Is Retail .... Is It True Logic ?


Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia menjadi pasar yang
atraktif bagi beberapa ritel (eceran) kelas dunia. Carrefour misalnya terlihat cukup serius untuk menggarap potensi pasar Indonesia. Demikian halnya Macro dan Giant yang turut meramaikan persaingan bisnis ritel. Hal yang sama dilakukan oleh beberapa minimarket seperti Alfamart, Indomaret, dan Yomart yang bersaing dalam memasarkan produk dalam jumlah kecil. Tiga nama terakhir bahkan terlihat bersaing secara konfrontatif, dengan mendirikan minimarket dengan lokasi yang berdekatan satu sama lain.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan krusial, seberapa pentingkah peran lokasi dalam bisnis ritel? Faktor lokasi tidak dapat dipungkiri berkontribusi terhadap kesuksesan bisnis ritel. Kemudahan konsumen dalam menjangkau ritel memang menjadi salah satu alasan yang mendorong mereka untuk membelanjakan uang mereka di peritel tersebut. Ada kecenderungan yang kuat konsumen berbelanja di ritel yang lebih dekat lokasinya. Meskipun kecenderungan ini bukan determinan utama motif berbelanja, tetap saja lokasi menjadi titik fokus para peritel dalam salah satu fondasi strategi bisnis mereka.

Salah satu indikator pentingnya lokasi ini dapat terlihat dari upaya pakar dalam mengkuantifikasi probabilitas keunggulan suatu ritel yang didasarkan pada faktor lokasi. Salah satu pendekatan populer adalah Model Gravitasi Huff. Asumsi fundamental dari model ini adalah determinasi lokasi sebagai aksentuasi analisis kuantitatif keunggulan bersaing sebuah ritel. Ritel pada dasarnya adalah sama, kecuali dalam hal jarak dan ukuran ritel tersebut. Logika sederhana dari model ini akan berkesimpulan bahwa semakin strategis lokasi suatu ritel dengan pelanggannya, semakin besar keunggulan yang akan diperoleh.

Namun, apakah model ini cukup representatif dalam mengurai fenomena keunggulan bersaing sebuah ritel? Setidaknya itulah yang menjadi concern utama bagi Nevin dan Houston (dalam Wong, Lu, dan Yuan, 2001). Keduanya menilai terdapat keterbatasan utama Model Gravitasi Huff tersebut. Menurutnya, asumsi model tersebut terlalu menekankan aspek kuantitatif sehingga atribut kualitatif menjadi terabaikan. Pergeseran orientasi faktor lokasi menjadi faktor non lokasi juga diidentifikasi oleh studi yang dilakukan oleh Meoli et al (1991).

Studi tersebut menemukan bahwa atribut kualitatif seperti citra toko, kepuasan berbelanja, dan loyalitas pelanggan menjadi determinan penting dalam menentukan daya tarik sebuah ritel. Pendekatan yang berbasis analisis kuantitatif yang menekankan atribut kualitatif ini kemudian memperoleh apresiasi yang cukup baik dalam kalangan akademisi. Seperti memperoleh momentum, studi lanjutan yang menekankan pada daya tarik yang berbasis atribut kualitatif juga dilakukan oleh Lindquist (1974-1975), yang merumuskan keunggulan ritel dalam sembilan dimensi, yang mencakup barang dagangan, pelayanan, personel toko, aspek fisik toko, kenyamanan, suasana toko, kepuasan toko, dan kepuasan pasca transaksi.

Bearden (1977) juga berargumen bahwa daya tarik sebuah ritel mampu menciptakan keunggulan bersaing. Daya tarik disini meliputi harga, kualitas barang dagangan, keragamana, suasana, lokasi, fasilitas parkir dan pelayanan yang ramah. Bahkan salah satu studi ritel yang cukup inovatif dilakukan oleh El-Adly (2007) yang melakukan studi dengan menggunakan mal sebagai objek kajian. Model ini dikenal dengan "Mall Attractiveness Approach". Model ini merupakan refinement dari beberapa studi sebelumnya. Model ini terdiri dari enam dimensi pokok, yaitu comfort, entertainment, diversity, mall essence, convenience dan luxury.

Dari uraian diatas, penting bagi peritel untuk memahami variabel demografis dan psikografis konsumen. Kedua variabel ini akan menjadi determinan kunci yang menentukan orientasi belanja. Perhatikan berapa banyak konsumen dari luar negeri yang mengunjungi yang mengunjungi ritel seperti Harrods atau Debenhams di Inggris. Fenomena ini menyiratkan bahwa lokasi bukan menjadi permasalahan bagi konsumen untuk memperoleh kesenangan berbelanja. Dalam psikologi, berlaku Teori Kesenangan yang Tertunda (Delay Enjoyment Theory).Teori ini menjelaskan mengapa konsumen rela untuk mengeluarkan energi yang besar (waktu, fisik, dan finansial) untuk memperoleh kesenangan yang telah mereka bayangkan.

Jika asumsinya demikian, maka sudah semestinya para pebisnis jeli membaca kondisi ini. Dengan menciptakan kesenangan berbelanja melalui positive shopping experience, maka kepuasan pelanggan akan terjadi. Positive shopping experience ini mencakup integrasi antara aspek merchandise, kebijakan harga, promosi, suasana toko yang nyaman, pelayanan pelanggan yang baik, serta layanan purna jual. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan faktor lokasi, karena jika konsumen melihat tidak adanya perbedaan (indifference) antara risel kita dengan ritelpesaing, maka lokasi menjadi pertimbangan penting.

Kamis, 15 April 2010

Insight on Quantitative Marketing Research Series

Emprical Replication on Marketing Research : Is it important ?

Siapa yang tidak mengenal model SERVQUAL ? Model riset ini sangat populer baik di kalangan akademisi dan praktisi karena practicability nya yang tinggi. Dampaknya, model ini menjadi primadona dalam riset pasar, khusunya dalam hal pengukuran kualitas layanan di seluruh dunia. Namun demikian, apakah faktor yang paling berkontribusi pada popularitas model tersebut?


Jawabannya adalah replikasi. Replikasi adalah pendekatan dengan menggunakan suatu model namun disesuaikan relevansinya dengan konteks seorang peneliti. Artinya, judgement peneliti sangat krusial dalam menggunakan suatu model riset. Tentu saja dengan memenuhi kaidah riset yang telah diterima secara umum. Secara umum, pendekatan replikasi seperti ini lebih sering digunakan dalam riset kuantitatif.

Kembali ke model SERVQUAL. Model ini pertama kali diusulkan oleh Parasuraman, Berry, dan Zeithaml (1990). Model ini terdiri dari lima atribut fundamental yaitu Responsiveness, Assurance, Tangibles, Empathy, dan Reliability. Model ini di dasari oleh dua komponen pokok, yaitu Perceived Quality (PQ) dan Service Expectation (SE). PQ mengacu pada penilaian subjektif - perseptual konsumen atas kualitas pelayanan yang mereka terima. Sementara SE merujuk pada level ekspektasi atas performa suatu layanan jasa. Dengan dua hal tadi, maka diukur selisih (gap) antara kenyataan (PQ) dan ekspektasi (SE). Semakin kecil gap diantara dua komponen tersebut maka semakin baik performa kualitas layanan yang dirasakan oleh pelanggan. Demikian pula sebaliknya.

Namun demikian, replikasi haruslah bersifat kontekstual dengan situasi yang dihadapi oleh peneliti. Oleh karena itu ada beberapa catatan penting dalam melakukan replikasi. Pertama, sesuaikan dengan karakteristik dan struktur pasar. Dalam risetnya, Parasuraman dkk (1990) menggunakan sampel perusahaan restoran, telekomunikasi, dan perbankan. Model tersebut akan kurang relevan jika struktur pasarnya berbeda, misalnya teknologi sebagai determinan utama penggerak pasar dan basis strategi bersaing.

Contohnya adalah studi yang dilakukan Cristobal, Flavian dan Guinalu (2007) yang mengkaji relevansi implementasi model SERVQUAL dalam lingkungan e-business. Akhirnya, ketiganya berkesimpulan bahwa model SERVQUAL perlu dimodifikasi sesuai dengan konteks. Dalam lingkungan e-business kontak antara staf perusahaan dengan pelanggannya tidak terlalu dominan seperti hal nya setting bisnis konvensional. Sehingga, ketiganya mengintroduksi model baru yang dinamakan PeSQ (Perceived electronic Service Quality).

Model ini mengintegrasikan komponen konvensional, konteks e-business, dan aspek operasional berbasis teknologi informasi. Hal ini tercermin dari atribut yang dioperasionalisasikan dalam model PeSQ yang meliputi Customer Service, Web Design, Assurance, dan Order Management. Model PeSQ juga secara eksplisit mengadaptasi beberapa atribut yang diperoleh dari beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan studi kualitas pelayanan dan bisnis online.

Dengan demikian, hal terpenting dalam sebuah peenlitian adalah kemampuan peneliti dalam menentukan (to judge) relevansi sebuah model. Jika dinilai model yang telah ada kurang mampu untuk merepresentasikan tujuan (objective) dari penelitian tersebut, maka peneliti harus menggunakan model baru yang lebih ideal untuk memenuhi tujuan penelitian. Manfaat terbesar dari replikasi empirik (empirical replication) adalah untuk mendiseminasi sebuah pendekatan baru yang lebih representatif sehingga mampu untuk menciptakan penelitian yang berkualitas tinggi.

Insight on Introduction to Marketing Research Series

Riset Kuantitatif atau Riset Kualitatif

Salah satu fakta terbantahkan dalam ranah marketing research adalah "persaingan" tajam antara riset kuantitatif dan riset kualitatif. Kompetisi yang begitu ketat ini akhirnya membuat salah satu paradigma riset menjadi "terkesan" unggul sementara paradigma yang lain menjadi "pecundang". Mungkin pernyataan diatas terlalu berlebihan. Namun saya belum menemukan padanan kalimat yang cukup komprehensif menggambarkan betapa kedua paradigma ini memang demikian tajamnya berkompetisi satu dengan yang lain.

Di Indonesia sendiri, kondisi diatas merupakan hal yang tidak terhindarkan. Kian ironis karena banyak akademisi yang mengklaim keunggulan salah satu paradigma nya relatif terhadap paradigma yang lain. Mungkin pernyataan yang objektif adalah riset kuantitatif lebih diunggulkan dibanding riset kualitatif. Benarkah demikian? Kedua pendekatan riset diatas idealnya adalah untuk saling melengkapi bukan untuk mengklaim yang terbaik diantara keduanya.

Ada baiknya kita melihat lebih dekat kedua pendekatan riset tersebut. Secara fundamental, riset adalah kegiatan mengumpulkan informasi yang bertujuan mengembangkan pemahaman yang telah ada (existing knowledge). Dalam tataran praktis, riset ditujukan untuk pengambilan keputusan. Untuk menghasilkan keputusan yang tepat, maka metode dalam mengumpulkan informasi tersebut haruslah memenuhi kaidah riset, seperti dilakukan secara sistematis, teruji kehandalan (reliability) dan kesahihannya (validity), dan memiliki metodologi baku yang secara prosedural memenuhi kriteria logika dan asumsi yang tepat. Hal ini kemudian akan membantu dalam merumuskan permasalahan riset (research problem) secara presisi.

Dalam riset kuantitatif, untuk menjawab permasalahan riset peneliti harus menggunakan sejumlah teori yang kemudian dioperasionalisasikan dalam dalam prosedur statistik. Akhirnya, temuan kuantitatif ini akan menjadi pertimbangan apakah temuan ini dapat disamaratakan (generalized) bagi teori yang tersebut. Di sisi lain, riset kualitatif mengandalkan paparan deskriptif untuk menguraikan kondisi aktual objek yang dikaji. Hasilnya adalah narasi terperinci yang bersifat kontekstual.

Permasalahan muncul ketika riset kualitatif dianggap kurang handal karena tidak mampu memenuhi kaidah generalisability seperti halnya riset kuantitatif. Dalam riset kualitatif, tujuan melakukan riset adalah untuk memahami, lebih mendalami insight objek dalam kondisi tertentu. Output dari riset kualitatif ini bersifat kontekstual, artinya temuan riset hanya berlaku untuk objek yang dikaji dan pada kondisi tersebut saja. Kemudian, riset kualitatif dianggap kurang berkelas karena tidak menggunakan metode statistika rumit. Sudah menjadi rahasia umum, jika paradigma riset, termasuk di Indonesia, di dominasi oleh paradigma kuantitatif. Istilahnya, kita belum melakukan riset kalau belum menggunakan teknik-teknik statistika.

Sebenarnya, penggunaan metode riset harus disesuaikan dengan kebutuhan. Disini, judgment ability peneliti sangat penting. Misalnya, kita ingin mengetahui tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang telah diberikan. Maka lebih baik menggunakan teknik kuantitatif dengan kuesioner terstruktur. Sehingga dibutuhkan jumlah sampel yang cukup besar sehingga dapat mewakili populasi. Namun, ketika kita ingin mengetahui pengalaman pelanggan terhadap pelayanan, seperti kekesalan ketika keberangkatan pesawat terbang tertunda, meja makan yang kotor ketika makan di restoran, atau pengalaman buruk ketika bertemu dengan pelanggan lain yang menggunakan jasa yang sama, akan lebih baik menggunakan pendekatan kualitatif.

Dalam spektrum yang lebih luas, kedua pendekatan riset dapat digunakan secara bersamaan. Misalnya, untuk menentukan atribut-atribut relevan yang menentukan kepuasan, dapat diperoleh dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) atau In Depth Interview. Atribut-atribut ini kemudian dielaborasi dalam kuesioner tertruktur dan diproses dengan prosedur statistika. Jadi kedua pendekatan riset ini dapat digunakan secara kolaboratif.

Insight on Brand Management Series

Do Your Brand Suffer Double Jeopardy ?

Anda mungkin sedikit heran ketika saya mencantumkan judul film dalam tulisan kali ini. Tentu saja, saya tidak akan mengulas film yang dibintangi oleh Bruce Beresford, Tommy Lee Jones, dan Ashley Judd. Namun, setidaknya film tersebut memberikan "pencerahan" kepada saya bahwa hal yang sama terjadi dalam bisnis. Hal ini mungkin sedikit janggal terdengarnya. Namun, fenomena Double Jeopardy (DJ) memang sesuatu yang widely happened but little known, baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi. Oleh karena itu, ada baiknya kita sedikit mengulas originasi teori DJ ini.


Fenomena ini pertama kali dikaji oleh sosiolog dari Columbia University (AS), Stephen McPhee. Dalam studinya terhadap pembaca komik strip dan pendengar radio, McPhee menemukan bahwa komik strip yang lebih populer lebih banyak dibaca dan lebih disukai ketimbang komik strip yang kurang populer. Demikian halnya dengan dengan perilaku pendengar radio yang menunjukkan sikap positif terhadap stasiun radio yang yang lebih populer.

Hal dasar inilah yang menjadi landasan bagi McPhee untuk "melabeli" fenomena ini dengan istilah DJ. Bagi McPhee, DJ merupakan kosakata yang merepresentasikan dua ketidakadilan yang dialami oleh sebuah objek yang kurang populer: sedikit populasi yang melibatkan diri dalam aktivitas yang dilakukan objek dan rendahnya kesukaan (liking) terhadap objek tersebut. Guna mempertajam hipotesis McPhee, Andrew Ehrenberg, seorang Professor Marketing dari London South Bank University (Inggris) mengkajinya dalam spektrum marketing.

Uniknya, Ehrenberg juga menemukan pola yang sistematis dengan temuan McPhee. Ehrenberg bahkan melakukan sampel yang lebih besar dan menemukan fenomena yang sama terjadi dalam berbagai aspek seputar marketing, mulai dari brand choice, store choice, attitudinal measures for packaged goods, program choice, channel choice, audience appreciation in the TV media, hingga industrial goods (Februadi, 2004). Untuk menekan variabilitas data, studi Ehrenberg dilakukan di 50 negara. Selanjutnya, apa yang menjadi penyebab fenomena ini dapat terjadi?

Ada baiknya kita menelisik hal ini dari perspektif psikologi konsumen dan strategi pemasaran yang digunakan oleh pemilik merek tersebut. Dalam perspektif psikologi konsumen, dikenal dengan Mere Exposure Effect Theory. Secara sederhana, teori ini menekankan pentingnya eksposur dalam membentuk preferensi audiens. Jika hal ini kita konversikan dalam konteks pemasaran praktis, besaran jumlah eksposur (berbagai program pemasaran) akan berdampak secara sistemik bagi pembentukan sikap positif konsumen.

Misalnya, jika perusahaan menampilkan iklan dengan frekuensi tinggi, maka secara inkremental akan meningkatkan sikap positif terhadap konsumennya. Sikap positif ini mencakup beberapa komponen psikologis, seperti pengetahuan terhadap produk yang meningkat, bertambahnya rasa ingin tahu (curiosity) konsumen sehingga mendorong keterlibatan yang tinggi (high involvement), menciptakan preferensi relatif merek perusahaan terhadap merek pesaing, dan akhirnya membeli merek tersebut. Skema ini nampaknya begitu sederhana, namun kompleksitas dan dilema akan muncul ketika perusahaan terkendala oleh anggaran pemasaran yang terbatas.

Dalam konteks makroekonomi, struktur pasar juga turut berkontribusi atas fenomena DJ ini. Dalam struktur pasar yang hyper-competitive yang dicirikan oleh banyaknya "pemain-pemain besar" dan marketing budget yang eksplosif pula, secara kolektif "para Goliath" ini juga ikut menentukan besaran market share di industri tersebut. Tepatnya, teori Darwin berlaku dalam situasi seperti ini dimana para "pemain besar" akhirnya menggusur "pemain-pemain kecil". Hal ini cukup logis. Dengan basis Mere Exposure Effect Theory, proses forgetting akan terjadi. Secara natural, program promosi yang dilakukan secara berulang-ulang akan meningkatkan variabel kognitif psikologi konsumen: meningkatkan pengetahuan terhadap sebuah merek dan merek yang lainnya mengalami proses pelupaan.

Kondisi nampaknya tidak adil bagi perusahaan yang "ditakdirkan" dengan anggaran marketing yang terbatas. Sama sekali tidak, justru kondisi ini yang memicu kreativitas pemasar di perusahaan kecil. Rather than competing with big player, it's better to focus on specific market segment. Be nich player, mungkin itu kata kuncinya. Sebagai niche player, marketing effort memang ditujukan untuk segmen spesifik dengan kebutuhan khusus yang tidak terlayani oleh perusahaan lain. Secara karakteristik, segmen ini mau dan mampu untuk membayar lebih demi memenuhi kebutuhan uniknya. Jika jeli, perusahaan dapat menggarap segmen ini dan memperoleh cash flow yang signifikan.

Opsi kedua, perusahaan dapat menggarap segmen geografis tertentu. Dengan menggarap segmen dalam geografis tertentu, perusahaan akan lebih cost-effective dalam mengelola budget yang terbatas tersebut. Dengan memodifikasi beberapa komponen marketing mix seperti printed advertising, point-of-purchase promotion, atau visual merchandising sesuai dengan kondisi lokal tersebut akan menghasilkan efektivitas yang lebih tinggi. Low budget high impact marketing strategy. Begitu istilahnya.

Banyak kisah sukses tentang nich player ini. Mobil Bentley adalah salah satu kisah suksesnya. Daripada "berkelahi" di pasar yang telah dijejali oleh merek-merek Honda, Toyota, General Motors atau Mitsubishi, Bentley lebih memfokuskan untuk memproduksi kategori exclusive high end mobile. Dengan mematok harga yang lebih tinggi dan hanya memproduksi secara kecil (hanya sekitar 40 mobil setahun), Bentley berhasil menguasai kategori segmen mobil ekslusif yang memang ditujukan untuk kalangan jetset.

Kisah manis berikutnya datang dari Baidu. Dengan memposisikan diri sebagai geographical player, mesin pencari (search engine) dari Cina ini berhasil meredam dominasi raksasa seperti Google atau Yahoo!. Secara sekilas, Baidu mengadopsi tampilan yang mirip dengan Google : halaman depan yang kosong dan warna putih dimana-mana. Namun, kecerdikan Baidu dapat dilihat dengan kuatnya karakter lokal setempat, dengan menggunakan huruf Cina. Hasilnya? Dalam periode 2006-2007, pendapatan yang diperoleh Baidu mencapai US 228 juta.

Maka, ada baiknya Anda memeriksa apakah merek Anda "terjangkiti" DJ. Jika memang demikian, jangan berkecil hati dan kreatiflah. Contoh sukses diatas adalah fakta terbantahkan tentang dahsyatnya kualitas dalam meramu strategi marketing yang hebat.